Warisan Intelektual Islam Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Identitas Buku 1. Judul : Warisan Intelektual Islam Indonesia (Telaah atas Karya-Karya Klasik) 2. Penyusun/Penyunting : Ahmad Rifa’i Hasan (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) 3. Halaman : 141 halaman 4. Penerbit : Mizan 5. Tahun Terbit : 1987 Buku Warisan Intelektual Islam Indonesia Karya Ahmad Rifai Hasan terbitan Mizan ini terdiri atas 141 halaman yang terbagi ke dalam 6 (enam) bagian. Bagian Pertama ; Warisan Intelektual Islam dan Pengembangan Wawasan Masa Depan : Sebuah Pengantar. Bagian Kedua: Tinjauan atas “ Al Fath al Mubin ‘ala Al Mulhidin’ karya Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Bagian Ketiga; Tinjauan atas “Tafsir al Munir” karya Imam Muhamad Nawawi Tanara. Bagian Keempat: Aspek Mistik Islam Kejawen dalam ”Wirid Hidayat Jati”. Bagian Kelima: Menjejaki Karya-Karya Haji Hasan Mustapa. Bagian Keenam: ”Martabat Alam Tujuh”: Suatu Naskah Mistik Islam dari Desa Karang, Pamijahan B. Biografi Penyusun/Penyunting : Ahmad Rifa’i Hasan, lahir di Bogor 3 November 1956. Menyelesaikan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (1984). Dari Tahun 1976-1983 aktif di dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa baik intra maupun ekstra universiter. Sejak September 1983 menjadi anggota Presidium dan Sekretaris Yayasan Himpunan untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (HP2M). Menjabat Sekretaris Lembaga Studi Agama dan Filsafat (1984-1987), dan kemudian Direktur Pelaksana Lembaga tersebut. BAB II RESENSI BUKU : WARISAN INTELEKTUAL ISLAM INDONESIA Telaah Atas Karya-Karya Klasik A. WARISAN INTELEKTUAL ISLAM DAN PENGEMBANGAN WAWASAN MASA DEPAN : SEBUAH PENGANTAR Pada awal tulisannya Ahmad Rifa’i Hasan mengutip sebuah kata mutiara dari Syauqi Bey, seorang penyair Mesir yang berbunyi : ” Seburuk-buruk manusia adalah mereka yang pemalas. Bila kau ungguli, cepat-cepat mereka menyebut-nyebut kebesaran nenek moyang mereka. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang memiliki kemuliaan masa lalu. Dan untuk diri mereka sendiri, mereka membangun kemuliaan yang baru”. (hal. 11). Dari sekian banyak hasil studi Islam, terutama penggalian khasanah intelektual islam tampak kekurangseimbangan kawasan dunia islam yang dikaji. Sebagian besar lebih memperhatikan kawasan Arab, Iran, Turki dan Afrika. Hanya sedikit tulisan dan studi tentang Islam di kawasan Budaya Melayu (Malaysia, Indonesia dan Filipina selatan) padahal penduduk muslim di kawasan ini merupakan salah satu konsentrasi penganut Islam terbesar di dunia. Padahal banyak sekali aspek studi yang menarik tentang islam di Indonesia terutama karya ulama dan pemikir Islam tentang fikih, tafsir, tasawuf, pemerintahan, kesenian, dan sebagainya baik yang sudah maupun yang belum bersentuhan dengan Barat modern. Di Indonesia, yang termasuk dalam kawasan kebudayaan melayu berkembang tradisi pemikiran Islam yang dapat dibagi dalam dua periode. Periode pertama adalah tradisi intelektual yang berkembang sebelum bersentuhan dengan faham-faham pembaruan Jamaludin al Afgani, Muhamad Abduh, Muhamad Iqbal, dan sebagainya. Periode kedua adalah pemikiran yang berkembang setelah terkena sentuhan modernisme tersebut. Tradisi intelektual periode pertama, misalnya dikembangkan antara lain oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani (meninggal 1630), Nuruddin Ar Raniri (meninggal 1658) dan Abdurrauf Singkel (meninggal1694) kesemuanya dari Aceh. Di luar Aceh terdapat warisan intelektual dari Syaikh Nawawi Banten, penulis Tafsir al Munir dan ratusan kitab lainnya; Kyai Ihsan Kediri, penulis Siraj ath Thalibin; Syaikh Abdusshamad al Palimbani (Palembang,1700); MangkunegoroIV, penulis Serat Wedhatama; R. Ronggowarsito, penulis Wirid Hidayat Jati, dan lain-lain. Dalam periode kedua, berkembang pemikiran yang dipengaruhi oleh modernisme Islam, seperti pemikiran H.O.S Cokroaminoto, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan, Syaikh A. Surkati, A. Hasan, M.Natsir, dan Abdullah bin Nuh (diantara kitab yang ditulisnya dalam bahasa Arab ada yang diterbitkan di luar negeri) Buku ini berisi komentar atas naskah-naskah para sarjana, ulama Indonesia yang berasal dari periode pramodernisme. Pesan yang terselip dalam buku ini adalah ajakan untuk mengapresiasi karya-karya intelektual para sarjana muslim, kemudian mengembangkan, menciptakan dan menyumbangkan karya-karya intelektual baru, yang bisa jadi berbeda, atau bertolak belakang dengan apa yang telah mereka ciptakan. Dengan demikian, kita bukan hanya menjadi penerima pasif warisan intelektual Islam Masa lalu, tetapi menjadi peserta aktif dan kreatif dalam kehidupan intelektual dimana kita hidup. Dengan memiliki pengetahuan tentang ’apa’ dan ’bagaimana’ peradaban islam itu berkembang, diharapkan dapat mendorong apresiasi dan kreativitas kaum muslimin untuk tidak hanya mengagumi dan menikmati, melainkan juga mampu menciptakan dan menyumbangkan karya-karya intelektual baru, yang dapat memberikan jawaban terhadap persoalan dan tantangan yang dihadapi dewasa ini.(Hal :14) B. TINJAUAN ATAS “ AL FATH AL MUBIN ‘ALA AL MULHIDIN’ KARYA SYAIKH NURUDDIN AR-RANIRI Bagian ini ditulis oleh Ahmad Daulay, Direktur Studi Purna Ulama/Ketua Jurusan akidah dan Filsafat, Fakultas Ushuludin, IAIN Ar-Raniri, Banda Aceh. Dalam tulisannya ia menguraikan bahwa pada abad ke enam belas dan tujuh belas Masehi, Propinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan suatu Kerajaan Islam Aceh yang mempunyai pengaruh luas di kawasan Asia Tenggara. Kemakmuran dan kejayaannya mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda (meninggal 1636 M). Pada saat itu banyak dikunjungi saudagar dan sarjana serta ulama dari negara-negara Barat maupun Timur Tengah dan India. Kerajaan Islam Aceh pada zaman ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam pemikiran keagamaan dan tasawuf, dan juga berperan sebagai pusat studi Islam dan dakwah di kawasan ini. Sosok Nuruddin Ar-Raniri dan Karya-Karyanya Nama Lengkapnya adalah Nuruddin Muhamad bin Ali bin Hasanji bin Muhamad ar Raniri al Quraisyi asy-Syafii. Lahir di Ranir (Rander) dekat Surat di Gujarat (India), pada tahun yang belum diketahui, dan meninggal dunia pada 22 Dzulhijah 1096 H/21 September 1658 M di India. Syaikh Nuruddin adalah seorang syaikh dalam tarikat Rifa’iah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i (meninggal 578 H/1181M). Ia masuk tarikat ini lewat Syaikh Ba Syaiban yang bertindak sebagai syaikh tarikat di india pada waktu itu. Sebelumnya syaikh tarikat ini dipegang oleh Syaikh Muhamad al Aidarus yang lahir di Tarim pada 1561 M, dan dalam usia sembilan belas tahun ia merantau ke Gujarat, menggantikan kakeknya sebagai guru agama dan syaikh tarikat Rifa’iah di kawasan itu. Jadi Syaikh Muhamad al Aidarus merupakan kakek ruhani Syaikh Nuruddin ar Raniri. Di Aceh, Syaikh Nurudin bermukim selama tujuh tahun (1638-1644 M). Selama itu ia banyak menulis kitab yang pada umumnya untuk menyanggah kebenaran ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani dua orang pemuka mazhab tasawuf Ibn Arabi yang berwatak panteisme. Syaikh Nuruddin sangat dekat dengan pihak istana sehingga diangkat sebagai mufti kerajaan. Al Fath al Mubin ’ala al Mulhidin Kitab ini ditulis oleh Syaikh Nuruddin ar Raniri pada 12 Rabiul Awal 1068H/1657 M di India sepulangnya dari Aceh. Meskipun kitab ini ditulis di India, ia sengaja mengirimkannya kepada umat Islam yang bermukim di Nusantara agar iman mereka selamat dari bujukan golongan Wujudiah yang dianggapnya sesat. Pada lembaran terakhir kitab ini, ia menulis Ya Tuhanku! Kuhadiahkan kiranya kitab ini semata-mata demi Hadirat-Mu jua, dan sesuatu pun tiada hamba menghendaki balasan, hanya memandang Wajah-Mu jua yang Mahatinggi dalam surga. Inilah haluanku, kiriman kepada segala saudaraku yang di Pulau Aceh dan yang di negeri Kedah dan yang di Pulau Banten dan yang di pulau Makasar dan yang dinegeri Johor dan yang di negeri Pahang dan yang di negeri Petani dan yang di ngeri Sangora dan kepada segala daerah negeri yang di bawah angin. Dipeliharakan Allah kiranya mereka itu dari segala bahaya dari dunia, serta diteguhkan dan ditetapkan Allah kiranya mereka itu dalam Agama Islam, dijauhkan Allah dari beritikad salah dan sesat. Salinan naskah ini terdiri atas 298 halaman dengan ukuran 21x25 cm. Setiap halaman terdiri atas 21 baris dengan ukuran teks 15,5 x 10 cm. Tulisannya indah, mudah dibaca, ditulis oleh Tuan Haji Abdul Wahab Ibn Abdul Jalil Jawi pada 3 Rabiul Akhir 1279 H untuk menjadi milik Tengku Abdul Karim Blang Ara. Bahasan Isi Naskah Dalam al Fath al Mubin al Mulhidin, Nuruddin menulis semacam nasihat dan peringatan bagi umat Islam untuk senantiasa memelihara iman (akidah Islam) menurut Ahl as Sunnah wa alJamaah dari pengaruh ajaran sesat terutama akidah kaum Wujudiah. Pada halaman berikutnya Syaikh Nuruddin membentangkan secara rinci semua dalil dan hujah golongan wujudiah mengenai kebenaran akidahnya, baik yang didengar langsung dari mereka lewat diskusi yang diadakan untuk itu, maupun yang ditemukan dalam kitab yang ditulis oleh para ulamanya. Inti ajaran wujudiah menurut Nuruddin terpusat pada wahdatul wujud yang ditafsirkan secara salah, yaitu kemanunggalan Tuhan dengan manusia/alam. Ia memulai uraiannya dengan mengimbau umat beriman untuk memikirkan apa yang disebut dalam kitab-kitab mereka. Seperti apa yang disebut dalam Khirqahnya Syamsudin Sumatrani yang mengatakan :”Wa’llah, Ta’llah insan” (itulah Allah dan Allah itulah Insan), Demikian juga perkataan mereka dalam diskusi dengannya : “Kamilah Allah dan kamilah Muhamad, dan kamilah setan, dan kamilah anjing, dan kamilah babi.” Semua alasan dan pendirian kaum Wujudiah disanggah oleh syaikh Nuruddin sebagai suatu pendirian yang tidak benar. Adapun yang dimaksud dengan istilah wahdatul wujud dalam kalangan sufi , adalah wujud Allah , wujud yang berhak atau”wujud semata” (wujud mahdh) sedangkan alam ini adalah “ketiadaan semata” (‘adam mahdh ). Dari itu, wujud Allah dan alam tidak dapat bersatu dan juga berbeda, yakni tidak dapat diperbandingkan, karena hanya Allah saja yang secara hakiki, sedangkan alam tidak ada, atau bayangan semata. Wujud Allah adalah wujud yang esa, tidak ada sesuatu yang menyertainya. Pada bagian terakhir al-Fath al Mubin, Nuruddin menyebutkan bahwa empat puluh ulama dari berbagai negeri Islam telah mengeluarkan fatwa tentang kekafiran kaum Wujudiah. Ia menasihati umat Islam untuk tidak membaca kitab-kitab tasawuf yang ditulis oleh orang sufi, karena mereka mempergunakan istilah-istilah yang sukar dicerna, sehingga akan mengambil kesimpulan salah yang dapat menjerumuskan kedalam kekufuran. C. TINJAUAN ATAS ”TAFSIR AL MUNIR” KARYA IMAM MUHAMAD NAWAWI TANARA Didin Hafidudin adalah Dekan Fakultas Syari’ahUniversitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor dan Dosen Agama Islam Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia menulis tinjauannya atas “Tafsir Al Munir” Karya Syaikh al-Kasyayih al-Alim al-Allamah Imam Muhamad Nawawi Tanara. Tentang Imam Muhamad Nawawi Tanara Imam Muhamad Nawawi lahir di kampung Tanara kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, karesidenan Banten , pada tahun 1230 H/1813 M. Wafat pada usia 84 tahun, yaitu pada 25 syawal 1314 H/1879 M, di tempat kediamannya yang terakhir, kampung Syi’ib Ali, Makkah. Jenazahnya dikuburkan di pekuburan M’la, Makkah, berdekatan dengan kuburan Ibn Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar Shiddiq. Pertama kali Imam Nawawi belajar di Masjidil Haram, Makkah, ketika itu merupakan satu-satunya lembaga pendidikan tinggi Islam di Makkah. Di tempat ini beliau belajar pada Sayyid Ahmad Nakhrawi, Syaikh Sayyid Ahmad Dimyati, dan Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Setelah itu beliau belajar di Madinah pada Syaikh Muhamad Khatib Al-Hambali. Selanjutnya ia berkelana mencari ilmu hingga ke Mesir dan Syam (Syria), kemudian kembali ke tanah air dan belajar kepada salah seorang ulama besar di karawang. Akhirnya kembali ke daerah asalnya, Tanara. Namun, karena kondisi Indonesia waktu itu masih dijajah Belanda, setiap gerak gerik para ulama diawasi termasuk kegiatan Imam Nawawi. Beliau kembali ke Makkah untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada para mahasiswa yang berdatangan ke sana dari berbagai negara. Di Makkah beliau tinggal di perkampungan Syi’ib Ali sampai akhir hayatnya. Diantara Ulama besar Indonesia yang menjadi muridnya antara lain : 1. K.H. Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. 2. K.H. Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. 3. K.H. Asy’ari, Bawaian, yang kemudian diambil mantu oleh Imam Nawawi, dinikahkan dengan puterinya yang bernama Nyi Maryam binti Syaikh Imam Nawawi. 4. K.H. Nahjun, Kampung Gunung Mauk, Tangerang, yang juga dijadikan mantunya (cucu), dinikahkan dengan Nyi Salmah binti Ruqayyah binti Syaikh Imam Nawawi. K.H. Nahjun juga bertindak selaku penulis karangan Imam Nawawi terutama ketika beliau menulis Qathr al Ghaits. 5. K.H. Asnawi, Caringin, Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. 6. K.H. Ilyas, kampung Tras, Tanjung, Kecamatan Karagilan, kabupaten Serang, Banten. 7. K.H. Abdul Ghaffar, kampung Lampung, kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, Banten. 8. K.H. Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta. Karya-karya Imam Nawawi yang berjumlah 115 kitab, atau 99 kitab menurut riwayat lain meliputi berbagai disiplin ilmu, antara lain : ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu sejarah, ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu ahlak, ilmu tasawuf, dan ilmu bahasa. Hampir seluruh kitab tersebut kini dipelajari di pondok-pondok pesantren salafi maupun majlis ta’lim. Salah satu Karya Imam Nawawi yang menyebabkan beliau mendapat penghargaan dari para ulama Makkah dan Mesir adalah Karyanya di bidang tafsir al-Qur’an , yaitu ”Tafsir al-Munir li Ma’alim at Tanzih” yang telah diteliti oleh ulama-ulama Makkah dan Mesir kemudian dicetak di Mesir. Di Mesir para ulama memberikan gelar kepadanya ”Sayyid ’Ulama al-Hijaz” (pemimpin ulama Hijaz). Tafsir Al-Munir Kitab tafsir ini ditulis mengikuti tradisi ulama salafy yang senantiasa membukukan karya-karyanya agar dapat terus dibaca oleh umat sepanjang zaman. Syaikh Nawawi memberikan nama terhadap kitab tafsirnya Murah Lubaid li Kasyfi Ma’na Quran Majid (Kitab yang Cukup Tebal Isinya yang mampu mengungkapkan makna al Quran al Majid). Sebagian besar tafsir ini memberikan tekanan utama pada penjelasan ayat demi ayat berdasarkan analisis bahasa, meskipun untuk bebrapa ayat dan surat dikaitkan pula dengan hadis-hadis, sebab-sebab turun ayat, dan pendapat-pendapat para sahabat (hal : 48). Tafsir al Munir termasuk tafsir ’am atau tafsir tartibi, yakni tafsir yang ditujukan kepada semua ayat al Quran, mulai dari surat al Fatihah sampai An Nas. Tafsir jenis ini menurut Didin Hafiduddin kurang memberikan kemungkinan untuk memperoleh gambaran atau pengetahuan penuh mengenai ajaran al Qur’an dalam suatu bidang tertentu dalam waktu relatif pendek, karena ayat-ayat al Quran yang berbicara masalah atau pengetahuan tertentu biasanya tidak terkumpul dalam satu surat, melainkan terpencar pada beberapa surat. Keuntungan mempelajari tafsir ’am ialah kita dapat mengetahui hubungan antara satu ayat dengan ayat sebelumnya maupun sesudahnya dalam satu surat, juga dapat mengetahui hubungan antara satu surat dengan surat sebelum maupun sesudahnya. Kesadaran Syaikh Nawawi untuk membukukan uraiannya tentang tafsir al-qur’an, mengikuti kesadaran dan tradisi ulama salaf merupakan suatu kesadaran tinggi yang patut diikuti dan dikembangkan oleh generasi berikutnya, karena hanya dengan itulah suatu karya, terlepas dari kualitasnya, bisa dibaca, dikaji ulang dan dijadikan bahan bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman selanjutnya (hal: 53) D. ASPEK MISTIK ISLAM KEJAWEN DALAM “WIRID HIDAYAT JATI” Bagian ini ditulis oleh Simuh, Dekan Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengajar mata kuliah Tasawuf, Ilmu Teologi Islam, dan Sejarah Pemikiran Islam pada Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam pembahasannya, Simuh mengemukakan bahwa Masyarakat Jawa, yang menjadi ladang penyebaran agama Islam semenjak abad pertama Masehi telah mengembangkan suatu kebudayaan yang kaya raya dengan menyerap dan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan Hindu-Budha. Bahkan para cendekiawan Jawa masa itu berhasil mengolah dan menyesuaikan unsur-unsur agama dan kebudayaan hindu dengan tradisi kejawen. Kedudukan Ronggowarsito (1802-1873) Ronggowarsito adalah keturunan pujangga, ia adalah cucu Yosodipuro II, cucu buyut Yosodipuro I. Ketiganya adalah pujangga istana Surakarta yang memainkan peran utama dalam masa kebangkitan ruhani dan pembaruan kebudayaan dan kepustakaan jawa. Selain dibesarkan dan dididik dalam lingkungan kepujanggaan dan kesusasteraan jawa, seperti kebanyakan priyayi jawa, Ronggowarsito juga dikirim secara khusus ke Pesantren Tegalsari, Ponorogo yang diasuh oleh Kyai Ageng Kasan Basari yang masih berdarah priyayi dan ahli kebatinan. Dari pesantren semacam ini disamping menghasilkan tokoh-tokoh agama, juga melahirkan tokoh priyayi dan para negarawan. Sesudah kakeknya Yosodipuro II wafat, Ronggowarsito diangkat menggantikan jabatan kakeknya sebagai pujangga istana, dengan pangkat kliwon carik. Pengangkatan sebagai pujangga istana menunjukkan bahwa Ronggowarsito adalah tokoh yang telah menguasai ilmu kejawen. Karena pada waktu itu, pujangga dipandang sebagai orang yang telah mahir dalam kesusasteraan, serta telah mumpuni dalam ilmu kejawen. Ronggowasito melanjutkan upaya para sastrawan sebelumnya yang berusaha mempertemukan tradisi dan ilmu kejawen dengan unsur-unsur ajaran Islam. Ajaran dalam ”kepustakaan Islam kejawen” memang tidak sepenuhnya sesuai dengan tuntunan Al Qur’an. Namun demikian, kepustakaan semacam ini telah berjasa dalam memperkenalkan nilai-nilai ajaran keruhanian serta etika islam kepada para penggemar kesusasteraan dan kepustakaan jawa. Naskah ”Wirid Hidayat Jati” Karya Ronggowarsito masih berbentuk tulisan tangan. Demikian pula dengan Wirid Hidayat Jati yang dapat ditemukan dalam enam buah naskah dengan judul yang berbeda-beda. Keenam naskah itu adalah : 1. Buku yang diterbitkan oleh Administrasi Jawi Kandha, Surakarta, 1908. Buku ini berjudul Serat Wirid. 2. Buku yang diterbitkan oleh Honggopradoto, Surakarta, 1941. Buku ini berjudul Hidayat Jati terdiri atas dua bagian : Hidayat Jati dan Maklumat Jati. 3. Buku yang diterbitkan oleh Tanaya, Surakarta, 1954. Buku ini berjudul Wirid Hidayat Jati. Susunan buku ini sama dengan terbitan Administrasi Jawi Kandha, hanya lebih ringkas, dengan beberapa tambahan yang terdapat dalam terbitan Honggopradoto. 4. Buku yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, 1959. Buku in berjudul Serat Wirid Hidayat Jati. Namun tidak memuat ajaran Wirid Hidayat Jati secara utuh, terdapat pengurangan dan penambahan. 5. Manuskrip yang dikeluarkan oleh P.W. Van den Broek, berjudul Serat Makrifat. Manuskrip ini aslinya tersimpan di Leiden dengan kode Or. 6766. 6. Manuskrip yang tersimpan di Leiden dengan kode Or.6518. Manuskrip ini berjudul Hidayat Jati. Tersusun atas dua bagian : Hidayat Jati dan Maklumat Jati. Aspek Mistik dalam “Wirid Hidayat Jati” Wirid Hidayat Jati-nya Ronggowarsito adalah warisan pemikiran mistik Islam kejawen abad ke-19. Mistik Islam Kejawen adalah mistik Islam yang dipadu dan diselaraskan dengan tradisi jawa. Karya ini cukup penting karena memuat pokok-pokok ajaran mistik islam yang disesuaikan dengan alam pikiran kejawen. Bila dibandingkan dengan kitab-kitab mistik kejawen lain, Wirid Hidayat Jati adalah yang paling lengkap ringkas dan padat. Sebagai suatu bentuk ajaran union-mistik (paham mistik yang mengajarkan kesatuan antara manusia dan Tuhan), uraian tentang Tuhan dalam Wirid Hidayat Jati tak dapat dipisahkan dari uraian tentang manusia. Karena setiap ajaran mistik yang berpaham union-mistik tidak menarik garis perbedaan yang tegas dan esensial antara manusia dan Tuhan. Maka ungkapan tentang Tuhan dalam paham union-mistik selalu tumpang tundih dengan pernyataan tentang manusia. Karena manusia memang bukan Tuhan, namun ia merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan Tuhan, sehingga tidak lain daripada Dia. Itulah Logika union-mistik. Hubungan Tuhan dengan manusia sering diibaratkan dengan hubungan manisnya madu dengan madu, atau laut dengan ombak. Inti ajaran Wirid Hidayat Jati boleh dikatakan merupakan perpaduan antara ajaran Martabat Tujuh dari Mistik Islam dan penghayatan gaib dari ajaran Dewaruci. Karena itu inti ajaran ataupun konsep ajaran Martabat Tujuh cukup mewarnai alam pikiran Mistik Ronggowarsito dalam Wirid Hidayat Jati. Konsep Manunggaling Kawula-Gusti dalam ”Wirid Hidayat Jati” Ajaran Manunggaling Kawula-Gusti amat menonjol dalam Wirid Hidayat Jati. Konsep ini diterangkan sewaktu mencapai penghayatan pada martabat ke tujuh (terakhir). Namun sebagian besar penganut paham manunggaling kawula gusti masih mempertahankan perbedaan antara Tuhan yang wajib disembah dan kawula yang wajib menyembah-Nya (hal 73). Kepustakaan Jawa, pada umumnya masih mempertahankan adanya perbedaan antara kawula dan Tuhan. Ronggowarsito termasuk dalam golongan yang masih membedakan antara kawula dan Tuhan. Dalam Wirid Hidayat Jati, pembedaan itu dinyatakan : ”Nugraha punika Dating Gusti, kanugrahaan punika sipating-kawula,” dan ”Mudah (dari kata muhdats baharu) punika dating kawula, wajah punika Dating Gusti ingkang asipat langgeng.” Pendirian Ronggowarsito, yang masih tetap mempertahankan perbedaan antara kawula dan gusti diungkapkan dalam karya-karya lainnya, misalnya Pramoyogo. Pendirian ini diungkapkan dalam pesan Sang Hyang Wenang kepada Puteranya, Bathara Guru. Sewaktu Sang Hyang Wenang akan nitis (manukma dalam diri Bathara Guru), beliau berpesan, bahwa dengan kesatuan antara Hyang Wenang (Tuhan) dalam Bathara Guru (simbol kawula ), Sang Guru diizinkan men-daku (mamakai semua gelar Sang Hyang Wenang, terkecuali satu gelar yang tidak diperbolehkan memakainya, yakni tidak diizinkan memakai Sang Hyang Wenang itu sendiri) Dikatakan : ”Mulane mengkono supaya anaha bedane Ingsung lan sira,” Adapun Istlah untuk menggambarkan kesatuan manusia dengan Tuhan, dalam Wirid Hidayat Jati digunakan konsep kumpul (angumpulaken kawula-Gusti) dan manunggal (tunggal dadi sakahanan). Jadi nampak masih mempertahankan ungkapan loro ning tunggal, yakni masih tetap mempertahankan adanya perbedaan antara Tuhan yang wajib disembah, dan kawula (manusia) yang wajib menyembah. E. MENJEJAKI KARYA-KARYA HAJI HASAN MUSTAPA Bagian ini ditulis oleh Ajip Rosidi seorang sastrawan yang lahir di Majalengka Jawa Barat. Menjabat Dosen Luar Biasa Sejarah Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran (UNPAD) sejak 1967. Sejak tahun 1971 menjabat Direktur PT. Dunia Pustaka Jaya. Ia banyak menulis karya-karya yang berhubungan dengan sastra. Sekarang nama Haji Hasan Mustapa telah lebih umum dikenal di kalangan orang Sunda, dan telah diterima sebagai pujangga. Pada tahun 1977 Presiden Republik Indonesia memberikan hadiah seni kepadanya sebagai sastrawan daerah sunda. Kebesaran Haji Hasan Mustapa sebagai pujangga atau sastrawan lebih banyak didasarkan pada uraian beberapa orang yang menulis tentang dirinya (hal 84). Haji Hasan Mustapa lahir dan hidup dalam amsyarakat Sunda lingkungan menak tetapi berorientasi pesantren (hal 91). Lingkungan menak yang disebabkan oleh keluarganya, dan kemudian disebabkan oleh kedudukannya sebagai Penghulu Besar (Hoffid Penghoeloe) Bandung (setelah sebelumnya secara singkat menjadi Penghulu Besar Aceh di Kutaraja, 1893 – 1895), mnyebabkan ia menghayati pengaruh kebudayaan jawa yang memang banyak diserap oleh kalangan menak Sunda abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang nampak antara lain pada pemakaian bentuk tembang utu merupakan pinjaman tetapi dianggapnya sudah menjadi milik budaya Sunda. Dia sendiri menulis puisi tembang dalam bahasa Jawa (Dangdanggula ”Milaningsun Mider Deropati” 52 pada; dan 6 pada Dangdanggula juga terdapat pada pupuh ”Dangdanggula Nu Jadi Mamanis”) Tetapi, karena kekerasan hati ayahnya, dia tidak dididik melalui bangku sekolah yang akan membukakan dunia menak bagi masa depannya, melainkan dimasukkan ke pesantren di Garut atau Sumedang, kemudian dikirim ke Mekah untuk belajar lebih lanjut. Pemahamannya terhadap Islam memperlihatkan sesuatu yang unik, karena dia mempergunakan lambang-lambang yang terdapat dalam tradisi sunda. Hal inilah yang membedakannya dari kebanyakan ulama pada masa itu, yang biasanya hanya menerjemahkan kata-kata bahasa Arab dengan kata-kata bahasa Sunda (Jawa) secara harfiah. Dengan kata lain, dia mempergunakan bentuk tembang tradisional itu untuk sesuatu yang baru, dan sekaligus melanjutkan pemahaman tentang agama Islam, yang berlainan dengan kebiasaan para ulama di pesantren, melalui lambang dan metafora yang akrab dengan lingkungan kebudayaan setempat (Sunda). Pada masa itu, pemahaman tentang Islam dalam masyarakat Sunda belum begitu mendalam. Meskipun secar formal orang-orang sunda memeluk agama Islam, tetapi penyebaran pendidikan dan dakwah Islam sangat terbatas. Hanya yang belajar di pesantren saja yang memperoleh pengetahuan mendalam tentang agama Islam, itupun biasanya hanya dalam bidang tertentu saja. Kecenderungannya untuk berbicara tentang Islam dengan mempergunakan lambang dan metafora yang akrab dengan lingkungan budaya (sunda), merupakan usahanya untuk menembus keterasingan intelektual. Dalam usahanya ia hanya memetik seratus empat ayat Al-Quran untuk orang sunda yang dianggapnya cukup dengan itu, memperlihatkan kesadarannya akan kurangnya pengetahuan dan pengenalan masyarakatnya (Sunda), dan tentang agama yang dipeluknya. Dalam Petikan Qur’an katut Adab Padikana ia mengatakan : aheula ku basa Sunda ahir ku basa Arab jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab” (Dahulu dengan bahasa Sunda, belakangan dengan bahasa Arab, jadi aku menerjemahkan Arab ke dalam bahasa Sunda meminta bantuan kepada Arab, menerjemahkan Sunda ke dalam bahasa Arab dari bahasa Arab). Dengan demikian, ia seakan-akan mau meyakinkan para pembacanya (orang sunda) bahwa Quran dalam bahasa Arab itu sebenarnya milik mereka sendiri, yang asalnya dalam bahasa Sunda. F. ”MARTABAT (ALAM) TUJUH” SUATU NASKAH MISTIK ISLAM DARI DESA KARANG PAMIJAHAN Bagian ini ditulis oleh Aliefa M. Santrie, seorang penulis, yang lahir di Bandung 18 September 1956. Konon naskah ini adalah pokok ajaran Syaikh Haji Abdulmuhyi dari desa Karang Pamijahan. Syaikh Haji Abdulmuhyi adalah seorang ulama penyebar agama Islam di kawasan selatan Jawa Barat, yang lebih dikenal umum sebagai seorang wali (halaman 105). Museum Pangeran Geusan Ulun di Sumedang pun menyimpan satu koleksi naskah yang mengandung ajaran martabat (alam) tujuh berbentuk wawacan ditulis tangan dalam huruf pegon atas nama R. Ating Natadikusumah. Satu Copy asli naskah ajaran martabat (alam) tujuh versi Kyai Haji Muhyiddin yang konon masih putera Syaikh Haji Abdulmuhyi, menjadi dasar tulisan ini dibuat (halaman 106). Pamijahan adalah sebuah desa yang mempunyai kedudukan khusus, di dalamnya terdapat makam Syaikh Haji Abdulmuhyi dengan segenap keturunannya; dan setiap hari orang berduyun-duyun ziarah ke sana dengan berbagai niat dan kepentingan. Dalam naskah ajaran martabat (alam) tujuh dari desa karang ditegaskan ”....aja angangken kawula iya Gusti, iya gusti iya kawula aja angangken kita iki kadadehaning Wujudullah.”(Jangan menganggap hamba adalah Tuhan, Tuhan adalah Hamba, bahkan jangan juga menganggap (kehambaan) kita adalah pengejawantahan dari ”wujud ” Allah). Ahadiyat, Naskah ini menggarisbawahi perbedaan antara Tuahn dan hamba, dan memfonis kafir billah terhadap orang-orang yang beranggapan adanya kesamaan. Diuraikan bahwa ”wujud” Allah yang mutlakitu qadim sementara keadaan hamba adalah muhdats. Adapun yang disebut qadim itu (meliputi martabat ahadiyat, wahdat, dan wahadiyat, martabat ”keesaan” Allah yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang dikatakan sebagai Wujudullah. Jadi ahadiyat adalah martabat pertama Allah yang mutlak sendiri, hanya zat semata, belum disertai sifat; dan belum lagi karsa mencipta atau memberi apapunKeadaan yang mutlak ini sebenarnya tidak terjangkau, sehingga disebutlah la ta’yun. Sebab ketika itu wujud Allah hanya bisa diistilahkan wujud haq, wujud mahadh, ghaibul ghuyub, dan ghaibul huwiyat. Wahdat, Martabat wahdat adalah ketika Allah ”cintake-ada-an diri-Nya sendiri”. Dalam martabat kedua ini Allah mulai karsa atas segala-galanya, hingga ke-ada-an Allah disebut isyiq atau asyiq. Wahidiyah, Dalam martabat ketiga ini ke-ada-an Allah didistilahkan masyuq sebab ketika itu, konon telah jelas tampak semua yang dimaklumatkan dalam ilmu Allah – yang ”dicintai” Allah. Artinya, Allah mulai menunjukkan diri-Nya sendiri; dan juga mulai mengadakan semua (keadaan) yang serba mungkin, segala-galanya. Alam Arwah, Naskah ini hanya mengemukakan bahwa alam arwah adalah martabat nyawa ketika belum menerima nasib; dan nyawa itu masih merupakan cahaya suci yang pertama kali dijadikan kehidupan, sehingga disebut nyawa rahmani. Alam Mitsal, Tentang martabat ini dikemukakan, bahwa tercapainya nyawa rahmani dikarenakan mulai menerima nasib. Karena telah dibebaniketentuan hidup, dan juga karena dijadikan Allah sebagai jisim, sebagai ke-ada-an nyawa-nyawa yang mempunyai peran sendiri-sendiri. Alam Ajsam, Martabat alam ajsam adalah ketika meng-ada-nya jasad halus yang diistilahkan ruhiyah, yang (siap) menanggungkan pancaindera lahir dan batin, dan juga semua hal lainnya. Sehingga jasad itu pun disebutlah jasad halus yang telanjang. Artinya jasad halus itu masih begitu polos (kasyf) untuk menerima hal-hal baik dan buruk. Alam Insan Kamil, Naskah ini mengemukakan, bahwa dari sekian jasad, hanya sebagian yang tinggal sempurna, diantaranya adalah jasad orang-orang yang berjuang (fi)sabilillah yang selalu menegakkan salat, yang tamat membaca alQuran ; dan jasad orang-orang yang tidak dirusak oleh para malaikat. Dan yang selainnya, luluh. BAB III PEMBAHASAN TINJAUAN ATAS “ AL FATH AL MUBIN ‘ALA AL MULHIDIN’ KARYA SYAIKH NURUDDIN AR-RANIRI Komentar atas kitab Al Fath al-Mubin ’ala al Mulhidin (Kemenangan Nyata atas Kaum Ateis) karya Syaikh Nuruddin Ar Raniri seorang ulama besar Aceh dari India, yang pernah menjadi Mufti Kesultanan Aceh Darussalam ditulis oleh Ahmad Daudy. Kitab ini dianggap salah satu kitab terpenting karangan syaikh Nuruddin ar-Raniri karena termasuk kelompok kitab terakhir ditulisnya, juga karena kitab-kitab yang pernah ia tulis sebelumnya selama bermukim di aceh, dicantumkan didalamnya. TINJAUAN ATAS ”TAFSIR AL MUNIR” KARYA IMAM MUHAMAD NAWAWI TANARA Didin Hafidudin menulis tinjauan atas Tafsir Al Munir Karya Imam Nawawi Tanara seorang ulama besar berasal dari Banten yang juga merupakan guru dari sejumlah ulama terkenal di Indonesia, seperti KH. Hasyim Asya’ri, Tebuireng Jombang, K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Caringin, Labuan Pandeglang , dan sejumlah ulama terkenal lainnya. Imam Nawawi adalah ulama yang produktif dalam menulis, sehingga julah kitab yang ditulisnya mencapai kurang lebih seratus buah. ASPEK MISTIK ISLAM KEJAWEN DALAM “WIRID HIDAYAT JATI” Aspek mistik islam kejawen dalam ”Wirid Hidayat Jati” karya Ronggowarsito, seorang pujangga besar istana Surakarta yang dididik dalam lingkungan kepujanggaan dan kesusasteraan Jawa serta dibesarkan dalam lingkungan pesantren Tegalsari Ponorogo dibahas oleh Simuh. Wirid Hidayat Jati merupakan pemikiran mistik Islam kejawen yang banyak dipengaruhi oleh paham tasawuf Wujudiah Ibn Arabi, yang diambil oleh Ronggowarsito dari Insan Kamil-nya Abdul Karim al Jilli. Menurut Simuh, wirid hidayat jati adalah salah satu karya Ronggowarsito yang berusaha mempertemukan tradisi dan ilmu kejawen dengan unsur-unsur ajaran Islam. MENJEJAKI KARYA-KARYA HAJI HASAN MUSTAPA Ajip Rosidi berusaha melacak karya-karya H. Hasan Mustapa yang sifat isinya berbeda dengan karya-karya sastra Sunda pada masa itu. Tulisan ini merupakan hasil penelitian terhadap karya-karya Haji Hasan Mustapa seorang pujangga Sunda yang pernah menjabat Penghulu Besar Aceh dan Bandung. Selain seorang pujangga, Haji Hasan Mustapa pun dikenal sebagai seorang ulama. Hal ini tampak dari karya-karya dan aktivitas mengajarnya di Mekah dan jabatan-jabatan lainnya. Pada awalnya nama besar haji Hasan Mustapa hanya dikenal dalam kalangan terbatas. Namun berkat usaha sekelompok murid dan pengagumnya, minat terhadap karyanya tetap terpelihara, bahkan menjalar ke luar lingkungan kelompok tersebut, hingga pada tahun 1977 Presiden RI memberikan hadiah seni kepadanya sebagai ”Sastrawan Daerah Sunda”. Karya-karya dangding Haji Hasan Mustapa umumnya berbentuk guguritan yang membahas masalah-masalah ketuhanan (sufi). Diantara karya-karya sufinya adalah Aji Wiwitan Martabat Tujuh dan Aji Wiwitan Mi’raj. ”MARTABAT ALAM TUJUH” SUATU NASKAH MISTIK ISLAM DARI DESA KARANG PAMIJAHAN Pada awalnya naskah ini berdasarkan keterangan dari proyek Sundanologi., dianggap sebagai buah tangan Kyai Muhyiddin. Namun setelah Aliefya M. Santrie melakukan penelitian akhirnya dapat disimpulkan bahwa naskah ini berasal dari Syaikh Abdul Muhyi yang mungkin kemudian ditulis oleh K.H. Muhyidin, putranya sendiri. Karena hal itulah, Aliefya M. Santrie selaku penulis menyebutnya Naskah Mistik Islam dari Desa Karang, Pamijahan. Naskah tasawuf ini tidak ditulis dengan bahasa sunda, tetapi dengan bahasa jawa. Karena pada waktu itu bahasa Jawa merupakan bahasa pengantar dalam penyebaran ilmu-ilmu keislaman di pulau jawa. Hingga sekarangpun di sebagian pesantren di Jawa Barat, keterangan atau penerjemahan dalam pengajian kitab kuning masih menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Jawa kemudian Sunda. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa penyebaran Islam di pulau jawa bermula dari daerah pesisir Jawa Tengah dan Timur, seperti Demak dan Gresik, baru kemudian menyebar ke daerah-daerah pedalaman, dan Jawa Barat merupakan daerah terakhir yang diislamkan. Ajaran ”Martabat (Alam) Tujuh” ditemukan dalam berbagai naskah dan tempat di Indonesia. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa ajaran Martabat (Alam) Tujuh adalah ajaran yang tersebar di berbagai tempat di Nusantara yang masuk bersamaan dengan penyebaran Islam di Indonesia. Mengingat Ronggowarsito dan Haji Hasan Mustapa diperkirakan banyak dipengaruhi oleh tasawuf Ibn Arabi yang berfaham Wujudiah, maka penulis berpandangan bahwa mungkin paham tasawuf yang ada dalam naskah ini dipengaruhi oleh Ibn Fadhilah al Burhanfuri yang menulis Tuhfat al Mursalat ila Ruh an Nabi. Satu hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa kesamaan faham tasawuf yang dianut oleh sejumlah ulama, atau penganutan paham tasawuf oleh mereka menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa penyebaran islam di Indonesia pada awalnya dilakukan oleh para sufi, selain oleh para pedagang. BAB IV KESIMPULAN Buku Warisan Intelektual Islam Indonesia yang disusun oleh Ahmad Rifa’i Hasan ini berisi telaah para ahli atas sejumlah karya-karya klasik yang cukup menonjol pada zamannya seputar dunia keislaman. Ulasan para ahli dalam buku ini cukup memberikan gambaran suasana keislaman pada masa lalu, yang mungkin jarang sekali diungkap dalam wacana perjalanan sejarah Islam di Indonesia. Tentunya buku ini akan sangat menarik dan bermanfaat apabila dikaji secara bijak oleh pembacanya, terkait setiap isi bahasan dari setiap bagian buku ini memiliki ke-khasan tersendiri karena dikemukakan oleh penulis yang berbeda latar belakang dan keahliannya. Seperti diuraikan dalam tulisan tentang Al Fath al-Mubin, suatu naskah polemik teologis yang ditulis oleh Syaikh Nuruddin ar-Raniri di India setelah kembali dari Aceh . Umumnya persoalan yang dibahas sejalan dengan kitab yang pernah ditulisnya sewaktu menjadi mufti kerajaan Islam di Aceh. Tujuannya adalah memaparkan kaum Wujudiah sebagai kaum sesat dan kufur yang tidak berhak hidup dalam kerajaan Aceh dengan akidah yang salah itu. Kitab ini juga memperlihatkan sisi pribadi Syaikh Nuruddin sebgai seorang ulama paripurna dalam zamannya yang membaca banyak kitab, menguasai secara mendalam berbagai cabang ilmu, dan sangat mahir dalam berhujah dan berdebat. Ia juga salah satu ulama yang menulis banyak kitab keislaman. Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawi lebih menekankan masalah bahasa dan kaidah-kaidahnya. Tetapi ada satu arah tertentu yang dituju oleh tafsir ini yaitu penanaman masalah akidah dan keyakinan, baik kepada Allah SWT, maupun kepada ajaran-Nya. Ini tampak dari ayat yang secara langsung atau tidak langsung membicarakan masalah akidah, misalnya ketika ia membicarakan ayat-ayat yang berhubungan dengan alam, ciptaan Allah dan ayat-ayat yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan menimpa umat terdahulu. Wirid Hidayat Jati yang membahas aspek mistik Islam kejawen merupakan salah satu karya Ronggowarsito yang berusaha mempertemukan tradisi dan ilmu kejawen dengan unsur-unsur ajaran Islam. Meskipun ajaran Manunggaling Kawula-Gustinya amat menonjol, namun masih mempertahankan perbedaan antara Tuhan yang wajib disembah dan Kawula yang wajib menyembahnya. Dalam bagian lain dibahas karya-karya Haji Hasan Mustapa yang sebagian besar berupa ”dangding” berbentuk ”guguritan” yang membahas masalah-masalah ketuhanan (sufi) seperti Aji Wiwitan Martabat Tujuh dan Aji Wiwitan Mi’raj, yang banyak dipengaruhi oleh unsur Jawa, menggambarkan fenomena tersendiri dalam khasanah karya sastra bernuansa Islam di daerah Sunda. Buku ini ditutup dengan bahasan tentang Martabat (Alam) Tujuh yang terkandung dalam Naskah Mistik Islam yang didapat dari Desa Karang Pamijahan, wilayah selatan Jawa Barat. Menguraikan setiap tingkat atau martabat yang terkandung dalam naskah ”Martabat (alam) Tujuh ”yang ditulis oleh Kyai Haji Muhyidin dan diduga berasal dari Syaikh Abdulmuhyi

Komentar

Postingan Populer